Kisah Dahsyat Urwah Bin Zubair

“Barangsiapa yang ingin melihat laki-laki penduduk jannah, maka hendaknya melihat Urwah bin Zubair.”

(Abdul Malik bin Marwan)

Pagi itu, matahari memancarkan benang-benang cahaya ke­emasan di atas Baitul Haram, menyapa ramah pelataran­nya yang suci. Di Baitullah, sekelompok sisa-sisa sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan tokoh-tokoh tabi‘in tengah mengharumkan suasana dengan lantunan tahlil dan takbir, menyejukkan sudut-sudutnya dengan do‘a-do‘a yang shalih.

Mereka membentuk halaqah-halaqah, berkelompok- kelompok di sekeliling Ka‘bah agung yang tegak berdiri di tengah Baitul Haram dengan kemegahan dan keagungannya. Mereka memanjakan pan­dangan matanya dengan keindahannya yang menakjubkan dan ber­ba­gi cerita di antara mereka, tanpa senda gurau yang mengandung dosa.

Di dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan ru­pa­wan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan mereka adalah bagian dari perhiasan masjid, bersih pakaiannya dan menyatu hatinya.

Keempat remaja itu adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya yang bernama Mus‘ab bin Zubair, saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubeir dan satu lagi adalah Abdul Malik bin Marwan.

Pembicaraan mereka semakin serius. Kemudian seorang di an­tara mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakannya. Maka khayalan mereka melambung tinggi ke alam luas dan cita-cita mereka berputar mengitari taman hasrat mereka yang subur.

Mulailah Abdullah bin Zubair angkat bicara: “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.”

Saudaranya, Mus‘ab menyusulnya: “Keinginanku adalah dapat menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasa­anku.”

Giliran Abdul Malik bin Marwan berkata: “Bila kalian berdua su­dah merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bi­sa me­nguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu`awiyah bin Abi Sufyan.”

Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatahpun. Semua mendekati dan bertanya: “Bagaimana denganmu, apa cita-cita­mu kelak wahai Urwah?” Beliau berkata: “Semoga Allah Ta’ala mem­berkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim [orang berilmu yang mau beramal], sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabb-nya, sunnah nabinya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku ber­hasil di akhirat dan memasuki jannah dengan ridha Allah Ta’ala.”

Hari-hari berganti serasa cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai‘at menjadi khalifah menggantikan Yazid bin Mu‘awiyah yang telah me­ninggal. Dia menjadi hakim atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka‘bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-citanya dahulu.

Sedangkan Mus‘ab bin Zubair telah menguasai Irak sepeninggal sau­daranya Abdullah dan akhirnya juga terbunuh ketika mem­per­ta­hankan wilayah kekuasaannya.

Adapun Abdul Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah setelah ayahnya wafat dan bersatulah suara kaum muslimin pasca ter­bu­nuh­­nya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus‘ab, setelah kedua­nya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya, dia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya.

Demi merealisasikan cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diutarakan di sisi Ka‘bah yang agung tersebut, beliau amat gigih dalam usahanya mencari ilmu. Maka beliau mendatangi dan menim­ba­nya dari sisa-sisa para sahabat Rasulullah  Shalallahu’alaihi wa Sallam yang masih hidup.

Beliau mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang mereka, menghadiri majelis-majelis mereka. Beliau meriwayatkan ha­dits dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa‘id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu‘man bin Basyir dan banyak pula mengambil dari bibinya Aisyah Ummul Mukminin. Pada gilirannya nanti, beliau berhasil menjadi satu di antara fuqaha’ sab’ah (tujuh ahli fikih) Madi­nah yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.

Para pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan ke­pa­da beliau baik tentang urusan ibadah maupun negara karena kele­bihan yang Allah berikan kepada beliau. Sebagai contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai gubernur di Madinah pada masa Al-Walid bin Abdul Malik, orang-orangpun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.

Usai shalat Zhuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fu­qaha Madinah yang dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di sisinya, maka beliau melapang­kan majlis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah ber­tahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata: “Saya mengun­dang Anda semua untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah kecuali sete­lah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di antara kalian. Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat yang melakukan kezha­liman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi melaporkannya kepada saya.” Kemu­di­an Urwah mendoakan baginya keberuntungan dan memohon ke­pada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa menjadikan beliau te­tap lurus dan tidak menyimpang.

Sungguh, telah terkumpul pada diri Urwah bin Zubair antara ilmu dan amal. Beliau membiasakan shaum di musim panas dan shalat di waktu malam yang sangat dingin. Lidahnya senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan Kitabullah dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat Al-Qur’an setiap siang dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang sebentar lagi akan kami beritakan kepada Anda.

“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu,” Masya Allah, laa quwwata illa billah”[sesungguhnya atas kehendak Allah semua itu terwujud. Tiada kekuatan kecuali dengan per­tolongan Allah]…” (Al-Kahfi: 39)

Suatu masa di zaman khilafah Al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak se­orangpun mampu bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh dengan keyakinan. Tatkala Amirul mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah.

Kemudian datanglah ketetapan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, laksana angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putera Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.

Belum lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan puteranya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba mem­bengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepatnya.

Kemudian bergegaslah Amirul Mukminin mendatangkan para ta­bib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan me­me­rin­tah­kan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apapun.

Namun para tabib itu sepakat untuk me­ngam­putasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.

Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah: “Sebaiknya kami mem­be­rikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakit­nya diamputasi.” Akan tetapi Urwah menolak: “Tidak perlu, aku ti­dak akan menggunakan yang haram demi mendapat afiat [kese­ha­tan]. Tabib berkata: “Kalau begitu kami akan membius Anda!” Beliau menjawab: “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya: “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu di­jawab: “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti me­­rasa kesakitan lalu menggerakkan kaki dan itu bisa memba­haya­kan Anda.” Beliau berkata: “Cegahlah mereka, aku tidak membutuh­kan­nya. Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”

Mulailah tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan: “Laa ilaaha Illallah Allahu Akbar “, sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.

Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan di betis Urwah bin Zubair untuk menghen­tikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk bebe­rapa lama dan terhenti membaca ayat-ayat Al Qur‘an di hari itu. Ini­lah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebia­saan yang beliau jaga semenjak remajanya.

Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata: “Dia (Allah) yang mem­bimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”

Kemudian dibacanya syair Ma‘an bin Aus :

Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang meragukan

Tidak juga kakiku membawaku kepada kejahatan

Telinga dan pandangan matakupun demikian

Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran

Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan

Melainkan telah menimpa orang lain sebelumku.

Kejadian tersebut membuat Amirul Mukminin, Al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah telah kehilangan puteranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.

nantikan berikutnya…

artikel : An-naba.com

3 responses to “Kisah Dahsyat Urwah Bin Zubair

  1. Thanks udah share, bolehkan saya share ke teman yang lainnya?.. Oiya makin bagus nih blog, hehe 😀

  2. Keliling keliling di blog ini ternyata udah ada beberapa komen saya hehehe ternyata saya sering berkunjung ke blog ini

Tinggalkan komentar