Nikah Mut’ah

PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sunnatullah
pada alam ini, tidak ada yang
keluar dari garisnya, manusia,
hewan maupun tumbuhan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan, supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah” –
QS adz Dzariyat ayat 49-. Allah
memilih sarana ini untuk
berkembang-biaknya alam dan
berkesinambungannya ciptaan,
setelah mempersiapkan setiap
pasangan tugas dan posisi masing-
masing.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan manusia seperti
ciptaan yang lainnya, tidak
membiarkan nalurinya berbuat
sekehendaknya, atau membiarkan
hubungan antara laki-laki dan
perempuan kacau tidak beraturan.
Tetapi Allah meletakkan rambu-
rambu dan aturan sebagaimana
telah diterangkan oleh utusanNya,
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[1]
Oleh karenanya, salah satu
maqashid syari’ah (pokok dasar
syariah), yaitu menjaga keturunan.
Islam menganjurkan umat Islam
untuk menikah dan diharamkan
membujang. Islam melarang
mendekati zina dan menutup
sarana-sarana yang menjurus
kepada perbuatan kotor tersebut.
Islam juga mengharamkan
perzinaan yang berbalutkan dengan
sampul pernikahan, atau pelacuran
menggunakan baju kehormatan. Di
antara pernikahan yang diharamkan
oleh Islam, ialah seperti :
1. Nikah tahlil, yaitu seseorang
menikah dengan seorang wanita
yang telah dithalak tiga oleh
suaminya, dengan tujuan agar
suami pertama dapat rujuk
dengannya.[2]
2. Nikah syighar, yaitu seseorang
menikahkan putrinya dengan
seseorang, dengan syarat orang
yang dinikahkan tersebut juga
menikahkan putrinya, dan tidak ada
mahar atas keduanya.[3]
3. Nikah muhrim, dan seterusnya.
Juga terdapat pernikahan yang
diharamkan, yang dikenal dengan
nikah kontrak (kawin kontrak).
Nikah yang biasa disebut nikah
mut’ah ini merupakan salah satu
pernikahan yang diharamkan Islam.
Uniknya, nikah mut’ah ini bahkan
dilanggengkan dan dilestarikan oleh
agama Syi`ah dengan
mengatasnamakan agama. Berikut
ini penjelasan fiqih Islam tentang
hukum nikah mut’ah.
DEFINISI NIKAH MUT’AH
Yang dimaksud nikah mut’ah
adalah, seseorang menikah dengan
seorang wanita dalam batas waktu
tertentu, dengan sesuatu pemberian
kepadanya, berupa harta, makanan,
pakaian atau yang lainnya. Jika
masanya telah selesai, maka dengan
sendirinya mereka berpisah tanpa
kata thalak dan tanpa warisan.[4]
Bentuk pernikahan ini, seseorang
datang kepada seorang wanita
tanpa harus ada wali atau saksi.
Kemudian mereka membuat
kesepakatan mahar (upah) dan
batas waktu tertentu. Misalnya tiga
hari atau lebih, atau kurang.
Biasanya tidak lebih dari empat
puluh lima hari; dengan ketentuan
tidak ada mahar kecuali yang telah
disepakati, tidak ada nafkah, tidak
saling mewariskan dan tidak ada
iddah kecuali istibra` (yaitu satu
kali haidh bagi wanita monopouse,
dua kali haidh bagi wanita biasa,
dan empat bulan sepuluh hari bagi
yang suaminya meninggal), dan
tidak ada nasab kecuali jika
disyaratkan.[5]
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut
Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : “aku
nikahi engkau”, atau “aku
mut’ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari
wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela
sekalipun hanya satu genggam
gandum.
4. Jangka waktu tertentu.[6]
NIKAH MUT’AH PADA MASA
PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH
DAN LARANGAN
Nikah mut’ah, pada awal Islam –
saat kondisi darurat-
diperbolehkan, kemudian datang
nash-nash yang melarang hingga
hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan
dibolehkannya nikah mut’ah pada
awal Islam ialah :
ﻦَﻋ ﻊِْﻴﺑَّﺮﻟﺍ ﻦﺑ ﺓَﺮْﺒَﺳ ْﻦَﻋ ﻪْﻴِﺑَﺃ ﻰﺿﺭِ ﻪﻠﻟﺍ
ﻪﻨﻋ ُﻪَّﻧَﺃ َﻥﺎَﻛ َﻊَﻣ ِﻝْﻮُﺳَﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ
ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ َﻝﺎَﻘَﻓ : َﺎﻳ ﺎَﻬَّﻳَﺃ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻲِّﻧِﺇ
ْﺪَﻗ ُﺖْﻨُﻛ ُﺖْﻧِﺫَﺃ ْﻢُﻜَﻟ ﻲِﻓ ِﻉَﺎﺘْﻤِﺘْﺳﻻﺍ َﻦِﻣ
ِﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ , َّﻥِﺇ َﻭ َﻪﻠﻟﺍ َﻡَّﺮَﺣ ْﺪَﻗ ﻰَﻟِﺇ َﻚِﻟﺫ ِﻡْﻮَﻳ
ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ , ْﻦَﻤَﻓ َﻥَﺎﻛ ُﻩَﺪْﻨِﻋ َّﻦُﻬْﻨِﻣ ٌﺀْﻲَﺷ
ِﻞْﺨُﻴْﻠَﻓ ُﻪَﻠْﻴِﺒَﺳ , َﻭ ﺎَﻟ ﺍْﻭُﺬُﺧْﺄَﺗ ﺎَّﻤِﻣ
ًﺎﺌْﻴَﺷ َّﻦُﻫْﻮُﻤﺘْﻴَﺗﺁ ” .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari
ayahnya Radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya ia bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
beliau bersabda: “Wahai, sekalian
manusia. Sebelumnya aku telah
mengizinkan kalian melakukan
mut’ah dengan wanita.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mengharamkannya
hingga hari Kiamat. Barangsiapa
yang mempunyai sesuatu pada
mereka , maka biarkanlah! Jangan
ambil sedikitpun dari apa yang
telah diberikan”.[7]
َﻭ ُﻪْﻨَﻋ َﻝﺎَﻗ : َﺎﻧَﺮَﻣَََﺃ ُﻝْﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ
ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ِﺔَﻌْﺘُﻤْﻟِﺎﺑ َﻡﺎَﻋ ِﺢْﺘَﻔﻟْﺍ َﻦْﻴِﺣ
ﺎَﻨْﻠَﺧَﺩ َّﻢُﺛ َﺔَّﻜَﻣ ْﻢَﻟ ْﺝُﺮْﺨَﻧ ﻰَّﺘَﺣ ﺎَﻬْﻨَﻋ َﺎﻧﺎَﻬَﻧ
Dari beliau, juga berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk
mut’ah pada masa penaklukan kota
Mekkah, ketika kami memasuki
Mekkah. Belum kami keluar, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengharamkannya atas kami”. [8]
ْﻦَﻋ َﺔَﻤَﻠَﺳ ِﻦْﺑ ﻉَﻮْﻛﺄَﻟْﺍ ﻰﺿﺭِ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ
:َﻝﺎَﻗ َﺺَّﺧَﺭ ُﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ َﻡﺎَﻋ ﺱَﺎﻃْﻭَﺃ ﻲِﻓ ِﺔَﻌْﺘُﻤﻟْﺍ َﺔَﺛﺎَﻠَﺛ
َّﻢُﺛ ٍﻡﺎَّﻳَﺃ ﺎَﻬْﻨَﻋ ﻰَﻬَﻧ
Dari Salamah bin
Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata : “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberikan
keringanan dalam mut’ah selama
tiga hari pada masa perang Awthas
(juga dikenal dengan perang
Hunain), kemudian beliau melarang
kami”. [9]
Muncul pertanyaan, semenjak
kapan Islam melarang mut’ah?
Untuk menjawabnya, kita dapatkan
riwayat-riwayat yang menerangkan
masalah ini terkesan simpang-siur,
disebabkan tempat dan waktu
pengharaman mut’ah berbeda-
beda.
Berikut kami sebutkan secara
ringkas waktu pengharaman
mut’ah, sesuai dengan urutan
waktunya.[10]
1. Ada riwayat yang mengatakan,
bahwa larangan mut’ah dimulai
ketika perang Khaibar (Muharram
7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan
pada umrah qadha (Dzul Qa`dah
7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan
pada masa penaklukan Mekkah
(Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan
pada perang Awthas, dikenal juga
dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan
pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan
pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan,
bahwa yang melarangnya secara
mutlak adalah Umar bin Khattab
Radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini penjelasan tentang
riwayat-riwayat tersebut.
• Riwayat yang menyatakan, bahwa
larangan mut’ah dimulai pada
umrah qadha [11], perang Tabuk
[12] dan Haji Wada [13] tidak lepas
dari kritikan, dan tidak dapat
dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih,
yang menerangkan pengharaman
mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar,
Penaklukan kota Mekkah, perang
Awthas. Riwayat-riwayat tersebut
sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut’ah
pada masa perang Khaibar :
ْﻦَﻋ ﺪَّﻤّﺤُﻣ ِﻦﺑ ﻲﻠَﻋ َّﻥََﺃ ًّﺎِﻴﻠَﻋ ﻰﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ
ﻪﻨﻋ َﻝَﺎﻗ ِﻦْﺑﺎِﻟ ٍﺱﺎَّﺒَﻋ ﻰﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ : ﺎﻤﻬﻨﻋ
َّﻥِﺇ ﻲَِّﻨﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ِﻦَﻋ ﻰَﻬَﻧ
ﺔَﻌْﺘُﻤْﻟﺍ َﻭِ ْﻦِﻋ ِﻡْﻮُﺤُﻟ َﺮَﺒْﻴَﺧ َﻦَﻣَﺯِ ﺔِﻴﻠْﻫَﺄْﻟﺍ
Dari Muhammad bin Ali (yang
dikenal dengan sebutan Muhammad
bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali
(bin Abu Thalib) berkata kepada
Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang mut’ah
dan daging keledai pada masa
Khaibar”.[14]
Riwayat pengharaman nikah mut’ah
pada penaklukan kota Mekkah,
yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah
Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya
berperang bersama Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam pada
penaklukkan kota Mekkah. Kami
tinggal lima belas hari. Kemudian,
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kami diperbolehkan
untuk mut’ah. Akupun keluar
bersama seseorang dari kabilahku.
(Kebetulan) aku mempunyai sedikit
ketampanan, sedangkan kerabatku
tersebut lebih mendekati jelek.
Setiap kami membawa sal, salku
jelek, sedangkan sal anak pamanku
tersebut baru dan mengkilap.
Ketika kami sampai di kaki Mekkah
atau di puncaknya, kami bertemu
dengan seorang gadis perawan,
panjang lehernya semampai. Kami
berkata,”Apakah engkau mau
bermut’ah dengan salah seorang
dari kami?” Dia berkata,”Dengan
apa kalian bayar?” Maka setiap kami
membentangkan salnya. Lalu wanita
itu melihat kami, dan sahabatku itu
melihat ketiaknya dan berkata:
“Sesungguhnya sal dia jelek,
sedangkan salku baru, mengkilap”.
Dia berucap,”Salnya tidak apa-apa,”
dua kali atau tiga. Lalu aku
melakukan mut’ah dengannya.
Belum usai aku keluar dari Mekkah,
kiranya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah
mengharamkannya.[15]
Sedangkan riwayat yang
mengharamkan nikah mut’ah pada
saat perang Awthas, yaitu hadits
Salamah bin al Akwa`.
• Mengkombinasikan antara
riwayat-riwayat di atas, para ulama
menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih
(mengambil riwayat yang lebih
kuat).
Sebagian para ulama mengatakan
[16], bahwa lafadz hadits Ali, yaitu
riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri
ada kalimat yang didahulukan dan
diakhirkan, karena beliau berucap
kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah
kejadian [17]. Seharusnya ucapan
beliau, “Bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang makan
daging keledai pada masa Khaibar
dan melarang mut’ah”. Dengan
demikian, larangan mut’ah dalam
riwayat ini tidak lagi ada secara
tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata,”Para ulama berselisih,
apakah mut’ah dilarang pada masa
Khaibar? Ada dua pendapat. Dan
yang shahih, larangan hanya pada
masa penaklukan kota Makkah,
sedangkan pelarangan waktu
Khaibar hanya sebatas daging
keledai. Hanya saja Ali berkata
kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang mut’ah pada hari
Khaibar, dan juga melarang makan
daging keledai untuk memberi
alasan (pengharaman) pada dua
permasalahan tersebut kepada Ibnu
‘Abbas. Maka para rawi menyangka,
bahwa ikatan hari Khaibar kembali
kepada dua hal itu, lalu mereka
meriwayatkan dengan makna”.[18]
Sedangkan riwayat pengharaman
mut’ah pada perang Awthas atau
Hunain, yaitu hadits Salamah bin
Akwa`. Berhubung perang Awthas
dan tahun penaklukan Mekkah pada
tahun yang sama, maka sebagian
ulama menjadikannya satu waktu,
yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak
(menggabungkan antara riwayat-
riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang
shahih tentang pengharaman nikah
mut’ah, bahwa telah berlaku
pembolehan kemudian pelarangan
beberapa kali. Diperbolehkan
sebelum Khaibar, lalu diharamkan,
kemudian diperbolehkan tiga hari
penaklukan Mekkah, kemudian
diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata,”Tidak ada keraguan lagi,
mut’ah diperbolehkan pada
permulaan Islam. Sebagian ulama
berpendapat, bahwa ia dihalalkan
kemudian dimansukhkan (dihapus),
lalu dihalalkan kemudian
dimansukhkan. Sebagian yang lain
berpendapat, bahwa penghalalan
dan pengharaman berlaku terjadi
beberapa kali.” [19]
Al Qurthubi berkata,”Telah berkata
Ibnul ‘Arabi,’Adapun mut’ah, maka
ia termasuk salah satu keunikan
syari’ah; karena mut’ah
diperbolehkan pada awal Islam
kemudian diharamkan pada perang
Khaibar, lalu diperbolehkan lagi
pada perang Awthas kemudian
diharamkan setelah itu, dan
berlangsung pengharaman. Dan
mut’ah -dalam hal ini- tidak ada
yang menyerupainya, kecuali
permasalahan kiblat, karena nasakh
(penghapusan) terjadi dua kali,
kemudian baru hukumnya
stabil’.”[20]
Bahkan sebagian ulama yang belum
menyaring semua riwayat tentang
mut’ah, mereka mengatakan telah
terjadi tujuh kali pembolehan dan
tujuh kali pelarangan.[21]
Kesimpulan Dari Pembahasan Di
Atas.
Pertama : Telah terjadi perselisihan
tentang waktu pengharaman. Ibnul
Qayyim rahimahullah menguatkan
riwayat yang mengatakan, bahwa
pengharaman berlaku pada tahun
penaklukan Mekkah.[22]
Kedua : Bagaimanapun perselisihan
ini tidak mengusik haramnya nikah
mut’ah; karena, sekalipun terjadi
perselisihan, akan tetapi telah
terjadi kesapakatan Ahlus Sunnah
tentang haramnya.
Al Qurthubi berkata,”Pengharaman
mut’ah telah berlaku stabil. Dan
dinukilkan dari Ibnul ‘Arabi, bahwa
tekah terjadi Ijma’ (kesepakatan)
atas pengharamannya (yaitu ijma`
Ahlus Sunnah yang datang
kemudian, wallahu a`lam,
Pen).” [23]
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH
MUT’AH
Nikah mut’ah telah diharamkan
oleh Islam dengan dalil Kitab,
Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ ْﻢُﻫ َﻥﻮُﻈِﻓﺎَﺣ ْﻢِﻬِﺟﻭُﺮُﻔِﻟ
ﺎَّﻟِﺇ ٰﻰَﻠَﻋ ْﻢِﻬِﺟﺍَﻭْﺯَﺃ ْﻭَﺃ ﺎَﻣ ْﺖَﻜَﻠَﻣ ْﻢُﻬُﻧﺎَﻤْﻳَﺃ
ْﻢُﻬَّﻧِﺈَﻓ ُﺮْﻴَﻏ َﻦﻴِﻣﻮُﻠَﻣ
ِﻦَﻤَﻓ ٰﻰَﻐَﺘْﺑﺍ َﺀﺍَﺭَﻭ َﻚِﻟَٰﺫ َﻚِﺌَٰﻟﻭُﺄَﻓ ُﻢُﻫ
َﻥﻭُﺩﺎَﻌْﻟﺍ
Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-
budak yang mereka miliki maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini
tidak tercela. Barangsiapa mencari
yang dibalik itu, maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui
batas. [al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menerangkan, sebab disahkan
berhubungan badan hanya melalui
dua cara. Yaitu: nikah shahih dan
perbudakan. Sedangkan wanita
mut’ah, bukanlah istri dan bukan
pula budak. [24]
ﻦَﻣَﻭ ْﻢَّﻟ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﻳ ْﻢُﻜﻨِﻣ ﺎًﻟْﻮَﻃ ﻥَﺃ َﺢِﻜﻨَﻳ
ِﺕﺎَﻨَﺼْﺤُﻤْﻟﺍ ِﺕﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ﻦِﻤَﻓ ﺎَّﻣ ْﺖَﻜَﻠَﻣ
ﻢُﻜُﻧﺎَﻤْﻳَﺃ ﻦِّﻣ ُﻢُﻜِﺗﺎَﻴَﺘَﻓ ِﺕﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ۚ ُﻪَّﻠﻟﺍَﻭ
ُﻢَﻠْﻋَﺃ ﻢُﻜِﻧﺎَﻤﻳِﺈِﺑ ۚ ﻢُﻜُﻀْﻌَﺑ ﻦِّﻣ ٍﺾْﻌَﺑ ۚ
َّﻦُﻫﻮُﺤِﻜﻧﺎَﻓ ِﻥْﺫِﺈِﺑ َّﻦِﻬِﻠْﻫَﺃ َّﻦُﻫﻮُﺗﺁَﻭ
َّﻦُﻫَﺭﻮُﺟُﺃ ِﻑﻭُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ٍﺕﺎَﻨَﺼْﺤُﻣ َﺮْﻴَﻏ
ٍﺕﺎَﺤِﻓﺎَﺴُﻣ ﺎَﻟَﻭ ِﺕﺍَﺬِﺨَّﺘُﻣ ٍﻥﺍَﺪْﺧَﺃ ۚ ﺍَﺫِﺈَﻓ
َّﻦِﺼْﺣُﺃ ْﻥِﺈَﻓ َﻦْﻴَﺗَﺃ ٍﺔَﺸِﺣﺎَﻔِﺑ َّﻦِﻬْﻴَﻠَﻌَﻓ ُﻒْﺼِﻧ
ﺎَﻣ ِﺕﺎَﻨَﺼْﺤُﻤْﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ َﻦِﻣ ِﺏﺍَﺬَﻌْﻟﺍ ْﻦَﻤِﻟ َﻚِﻟَٰﺫ ۚ
َﻲِﺸَﺧ َﺖَﻨَﻌْﻟﺍ ْﻢُﻜﻨِﻣ ۚ ﻥَﺃَﻭ ﺍﻭُﺮِﺒْﺼَﺗ ٌﺮْﻴَﺧ ْﻢُﻜَّﻟ ۗ
ُﻪَّﻠﻟﺍَﻭ ٌﻢﻴِﺣَّﺭ ٌﺭﻮُﻔَﻏ
Dan barangsiapa di antara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaanya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang
kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu; sebahagian kamu
adalah dari sebahagian yang lain,
karena itu kawinilah mereka dengan
seizin tuan mereka dan berilah
maskawin mereka menurut yang
patut, sedang merekapun wanita-
wanita yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan (pula) wanita
yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya; dan apabila
mereka telah menjaga diri dengan
kawin, kemudian mereka
mengerjakan perbuatan yang keji
(zina), maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman bagi
wanita-wanita merdeka bersuami.
(Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut
kepada kesulitan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antaramu, dan
kesabaran itu lebih baik bagimu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan.
Pertama, jika nikah mut’ah
diperbolehkan, maka tidak ada lagi
alasan untuk tidak melakukannya
bagi orang yang kesulitan menjaga
diri atau keperluan untuk menikahi
budak atau bersabar untuk tidak
menikah [25]. Kedua, ayat ini
merupakan larangan terhadap nikah
mut’ah, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman “karena itu
kawinilah mereka dengan seizin
tuan mereka”. Sebagaimana
diketahui, bahwa nikah seizin orang
tua atau wali, itulah sebenarnya
nikah yang disyariatkan, yaitu
dengan wali dan dua orang saksi.
Adapun nikah mut’ah, tidak
mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua
riwayat yang telah disebutkan di
atas merupakan dalil haramnya
mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus
sunnah telah menyebutkan, bahwa
para ulama telah sepakat tentang
haramnya nikah mut’ah. Di antara
pernyataan tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul ‘Arabi
rahimahullah , sebagaimana telah
disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi berkata,”Umar
telah melarang mut’ah di hadapan
para sahabat Rasulullah, dan tidak
ada seorangpun yang
mengingkarinya. Ini menunjukkan,
bahwa mereka setuju dan menuruti
apa yang telah dilarang. Dan juga
bukti Ijma’ mereka atas larangan
tersebut adalah, bahwa hukum
tersebut telah dihapus.[27]
3. Qadhi Iyadh berkata,”Telah
terjadi Ijma’ dari seluruh ulama
atas pengharamannya, kecuali dari
kalangan Rafidhah (kelompok
Syi’ah, Pen)”. [28
4. Dan juga disebutkan oleh al
Khattabi: “Pengharaman mut’ah
nyaris menjadi sebuah
Ijma’ (maksudnya Ijma’ kaum
Muslmin, Pen.), kecuali dari
sebagian Syi’ah”. [29]
• Adapun alasan dari akal dan
qiyas, sebagai berikut :[30]
1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak
mempunyai hukum standar, yang
telah diterangkan dalam kitab dan
Sunnah dari thalak, iddah dan
warisan, maka ia tidak berbeda
dengan pernikahan yang tidak sah
lainnya.
2. ‘Umar telah mengumumkan
pengharamannya di hadapan para
sahabat pada masa khilafahnya dan
telah disetujui oleh para sahabat.
Tentu mereka tidak akan mengakui
penetapan tersebut, jika pendapat
‘Umar tersebut salah.
3. Haramnya nikah mut’ah,
dikarenakan dampak negatif yang
ditimbulkannya sangat banyak. Di
antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena
wanita yang telah dimut’ah oleh
seseorang dapat dinikahi lagi oleh
anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil
mut’ah tanpa pengawasan sang
ayah atau pengasuhan sang ibu,
seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang
murahan, pindah dari tangan ke
tangan yang lain, dan sebagainya.
SEPUTAR IJTIHAD IBNU ABBAS
RADHIYALLAHU ‘ANHU DALAM
MASALAH MUT’AH [31]
Dalam permasalahan ini, Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘anhu
mempunyai tiga pendapat.[32]
• Membolehkannya secara mutlak.
Disebutkan dari ‘Atha`, beliau
mendengar Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhu berpendapat
bahwa nikah mut’ah boleh …[33]
• Membolehkannya dalam keadaan
darurat. Riwayat ini yang
termasyhur dari beliau.
Di antaranya riwayat dari
Ubaidillah [34] : “Bahwa Abdullah
bin Abbas berfatwa tentang mut’ah.
Para ahli ilmu mencelanya
karenanya, akan tetapi beliau tidak
bergeming dari pendapatnya,
hingga para ahli syair melantunkan
syair tentang fatwanya :
Wahai kawan, kenapa engkau tidak
melakukan fatwa Ibnu ‘Abbas?
Apakah engkau tidak mau dengan si
perawan sintal, dan seterusnya …
Maka berkatalah Ibnu Abbas:
“Bukan itu yang aku maksud, dan
bukan begitu yang aku fatwakan.
Sesungguhnya mut’ah tidak halal,
kecuali bagi yang terpaksa.
Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya
seperti makan bangkai, darah dan
daging babi”.
• Melarangnya secara mutlak, akan
tetapi riwayat ini lemah. [35]
TANGGAPAN ULAMA TENTANG
FATWA IBNU ABBAS
RADHIYALLAHU A’NHU
• Tanggapan Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhu.
Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Salim budak Ibnu ‘Umar, ia
berkata :
Dikatakan kepada Ibnu Umar: “Ibnu
Abbas memberi keringanan
terhadap mut’ah”. Beliau (Ibnu
‘Umar, Red) berkata,”Aku tidak
percaya Ibnu Abbas mengucapkan
itu.” Mereka berkata,”Benar, demi
Allah, beliau telah
mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar
berkata,”Demi Allah, dia tidak akan
berani mengucapkan itu pada masa
Umar. Jika dia hidup, tentu dia
hukum setiap yang melakukannya.
Aku tidak mengetahuinya, kecuali
(mut’ah, Red) itu perbuatan
zina.” [36]
• Khattabi berkata,”Ibnu Abbas
membolehkannya bagi orang yang
terdesak, karena lamanya
membujang, kurangnya
kemampuan. Lalu beliau berhenti
dari fatwa tersebut (yaitu rujuk)
[36].” Hal yang sama juga
disampaikan oleh Ibnul Qayyim.
[38]
• Al Hafizh Ibnu Hajar
berkata,”Kalangan ulama menilai
fatwa Ibnu Abbas dalam masalah
mut’ah merupakan satu-satunya
fatwa yang mengatakan boleh.” [39]
Demikian permasalahan nikah
mut’ah, atau padanan dalam
bahasa kita dikenal dengan istilah
kawin kontrak. Tak syak lagi, bahwa
Rasulullah n telah mengharamkan
praktek nikah mut’ah ini. Islam
menutup sarana-sarana yang
menjurus kepada perbuatan kotor
dan menjijikan. Islam
mengharamkan perzinaan yang
berbalutkan pernikahan, atau
pelacuran menggunakan baju
kehormatan. Billahi taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M
Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Silahkan lihat Fiqih Sunnah,
Sayyid Sabiq, Maktabah Ubaikan
(2/104).
[2]. Jami’ Ahkamin Nisaa`,
Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah
(3/137).
[3]. Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim,
Muassasah Risalah (5/108).
[4]. Jami’ Ahkamu Nisaa`
(3/169-170), dan silahkan lihat juga
definisinya di dalam Subulus Salam,
Ash Shan’ani, Darul Kutub Ilmiyah
(3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah,
Dar Alam Kutub (10/46).
[5]. Subulus Salam, ash Shan’ani,
Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
[6]. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
(2/132).
[7]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[8]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[9]. HR Muslim, 9/157, (1405).
[10]. Silahkan lihat pembahasan ini
di dalam Jami’ Ahkamin Nisaa`,
Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah
(3/171-205).
[11]. Haditsnya diriwayatkan oleh
Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya
(1/217), akan tetapi haditsnya
mursal.
[12]. Haditsnya diriwaytakan oleh
Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam
sanadnya terdapat rawi Mukmal bin
Ismail dan Ikrimah bin Ammar.
Keduanya tidak lepas dari kritikan,
Jami’ Ahkam Nisaa’ (3/193).
[13]. Hadistnya diriwayatkan oleh
Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al
Baihaqi di Sunan Kubra (7/204) dan
yang lainnya. Riwayatnya Syaz
(yaitu penyelisihan hadits ini
dengan riwayat yang lebih kuat).
Lihat Irwa` Ghalil (6/312).
[14]. HR Muslim, 9/161, (1407).
[15]. HR Muslim, 9/158, (1406).
[16]. Silahkan lihat Fathul Bari
(9/168-169),
[17]. Di dalam riwayat Muslim
disebutkan, bahwa terjadi
perdebatan antara Ali yang
memandang haramnya mut’ah
dengan Ibnu Abbas yang awalnya
membolehkan mut’ah. Kemudian Ali
berkata kepadanya: “Engkau, orang
yang bingung. Bahwasanya Nabi
telah melarang kita dari daging
keledai dan mut’ah pada perang
Khaibar”.
[18]. Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim
(4/111).
[19]. Tafsir al Qur`anil ‘Azhim,
Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal
Hikam (1/449).
[20]. Jami’ Ahkamil Qur`an, al
Qurthubi, Dar Syi’ib (5/130-131).
[21]. Ibid. (5/131).
[22]. Silahkan lihat Zadul Ma’ad
(3/460).
[23]. Jami’ Ahkamil Qur`an (5/87).
[24]. Mukhtashar Itsna Asy’ariah,
Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 228.
[25]. Ibid.
[26]. Jami’ Ahkamil Qur`an, al
Qurthubi (5/130).
[27]. Syarh Ma’anil Atsar (3/27).
[28]. Fathul Bari, Ibnu Hajar
(9/173).
[29]. Aunul Ma’bud, Khattabi, Darul
Kutub Ilmiyah (6/59).
[30]. Silahkan lihat asy Syi’ah wal
Mut’ah, Muhammad Malullah,
Maktabah Ibnu Taimiyah, hlm.19;
Mukhtashar Itsna Asy’ariah,
Mahmud Syukri al Alusi, hlm.
227-228 dan Fiqih Sunnah, Sayid
Sabiq (2/130-131).
[31]. Sebagian ulama menyebutkan
nama sebagian sahabat yang
berpendapat bolehnya mut’ah, akan
tetapi sengaja tidak kami sebutkan,
karena lemahnya riwayat dari
mereka, atau rujuknya mereka
tentang hal itu. Silahkan lihat Fahul
Bari (9/174).
[32]. Silahkan lihat Irwa` Ghalil
(6/319) dan Jami` Ahkamin Nisaa`
(3/195).
[33]. HR Mushannaf, Abdurrazzaq
(14022)
[34]. HR Muslim (9/174), dan
ucapan Ibnu Abbas di atas
disebutkan oleh al Baihaqi di dalam
Sunan-nya (7/205).
[35]. Dikeluarkan oleh at Tirmidzi
(1122) dan al Baihaqi (7/205).
Dalam sanadnya terdapat Musa bin
‘Ubaidah ar Rabzi, dan dia dha’if.
[36]. HRAbdur Razaq di Mushannaf-
nya (14020) dengan sanad shahih.
Lihat Jami` Ahkamin
Nisaa’ (3/199).
[37]. A’unul Ma’bud, Khattabi,
Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[38]. Zadul Ma’ad (5/112).
[39]. Fathul Bari, Ibnu Hajar

by. Ust.Armen Halim Naro

Sumber Almanhaj.or.id

Tinggalkan komentar