Fitnah Takfir Neo Khawarij (bag 1)

Fitnah takfir (mengkafirkan) merupakan bahaya laten yang terus merongrong umat ini. Sejak dahulu, fitnah inilah yang telah menghancur-leburkan barisan kaum muslimin. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kaset beliau, bahwa bid’ah yang pertama kali muncul di tengah umat ini ialah bid’ah yang berkaitan dengan status manusia yang dianggap berbuat salah; dihukumi sebagai muslim ataukah kafir? Dari situ muncullah berbagai macam polemik, hingga akhirnya menyebabkan kaum muslimin saling menumpahkan darah.

Lihatlah peperangan-peperangan yang pecah pada awal-awal Islam. Semua tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran menyempal kaum Khawarij. Anda tentu masih ingat peristiwa terbunuhnya Abdullah bin Khabbab bin Al Arat bersama istrinya yang masih mengandung. Dan anda tentu mengetahui alasan kaum Khawarij -sebagai pelaku tunggal- membunuhnya. Dan anda tentu tahu alasan kaum Khawarij melakukan pembangkangan terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Tidak lain karena pemikiran takfir ini.

Dari sinilah bid’ah berkembang, hingga pada akhirnya manusia mempersoalkan nama dan sifat Allah. Bahkan berkelanjutan dengan mempersoalkan dzat dan status Allah.
Betapa mirip kemarin dengan hari ini. Sekarang ini, pemikiran takfir juga menjadi penyebab berbagai fitnah, pertumpahan darah dan malapetaka yang menimpa umat. Banyak sekali aksi-aksi yang mengatas-namakan Islam dan kaum muslimin. Apabila diselidiki akarnya, niscaya kita mendapatinya berpangkal dari pemikiran takfir ini.

Syaikh Al Albani mengatakan dalam kaset Silsilah Huda wan Nur, edisi nomor 170 tertanggal 12/5/1413 H bertepatan dengan tanggal 7/11/1993M, mengatakan,Termasuk diantara kelompok yang menyimpang itu ialah kelompok Khawarij, dahulu dan sekarang. Akar fitnah takfir pada zaman ini -bahkan sejak dahulu- adalah ayat yang selalu mereka dengung-dengungkan, yaitu firman Allah:

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS Al Maidah:44).

Mereka memahami dan membawakan ayat tersebut tanpa ilmu dan tanpa pemahaman yang mendalam. Kita mengetahui, bahwa ayat ini diulang tiga kali dengan tiga lafadz yang berbeda. Yaitu: ‘maka mereka itu adalah orang-orang kafir’, dalam ayat berikut: ‘maka mereka itu adalah orang-orang zalim’ dan dalam ayat berikut: ‘maka mereka itu adalah orang-orang fasik’.

Lalu karena kejahilannya, mereka hanya berdalil dengan lafadz yang pertama saja. Yakni ‘maka mereka itu adalah orang-orang kafir’. Mereka, sama sekali tidak memperhatikan sebagian nash syar’i -Al Qur’an maupun As Sunnah- yang menyebutkan lafadz kufur. Lalu mengartikan kufur dengan makna keluar dari agama alias murtad. Menurut mereka, tidak ada perbedaan antara orang-orang yang jatuh ke dalam kekufuran ini dengan orang-orang musyrik dari kalangan Yahudi dan Nashrani serta pemeluk agama-agama di luar Islam lainnya. Padahal lafadz kufur dalam Al Qur’an dan As Sunnah tidak selalu berarti kufur keluar dari agama seperti yang mereka dengung-dengungkan itu.

Kemudian Syaikh Al Albani melanjutkan,Jadi, kita harus memahami ayat ini dengan pemahaman secara mendalam. Kadangkala maksud lafadz kufur ialah kufur amali. Yaitu amal yang mengeluarkan pelakunya dari sebagian hukum Islam; bukan berarti kafir murtad.
Pemahaman ini didukung oleh penjelasan Habrul Ummah dan turjumanul Al Qur’an Abdullah bin Abbas yang telah disepakati oleh umat sebagai imam tiada tandingannya dalam ilmu tafsir.

Seakan ketika itu, beliau mendengar apa yang kita dengar sekarang ini. Bahwa ada sebagian orang yang memahami ayat ini dengan pemahaman yang dangkal tanpa perincian. Beliau berkata,’Bukan ke-kufuran yang kalian maksudkan itu!’, ‘Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam’, ‘Yakni kufur duna kufur!

Barangkali yang beliau maksudkan ialah kaum Khawarij yang membangkang terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, yang kemudian -sebagai akibatnya- mereka menumpahkan darah kaum muslimin. Mereka melakukan perbuatan terhadap kaum muslimin yang tidak pernah mereka lakukan terhadap kaum musyrikin. Lalu Ibnu Abbas menegaskan, bahwa maksudnya tidak seperti yang mereka katakan atau mereka kira. Tetapi, maksudnya ialah kufur duna kufur (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam).

Jawaban yang singkat dan sangat jelas dari turjumaanul Al Qur’an tentang tafsir ayat di atas, merupakan ketetapan hukum yang tidak mungkin memahami nash-nash lainnya, kecuali dengan pemahaman tersebut.

Dari penuturan Syaikh Al Albani tersebut jelas diketahui, bahwa akar pemikiran takfir sekarang ini merupakan pemahaman yang dangkal dalam memahami ayat di atas. Tidak merujuk kepada pemahaman Salaf dalam menafsirkannya.

Kemudian Syaikh Al Albani menceritakan dialog beliau dengan mantan anggota jama’ah takfir:
Kalau kita melihat jama’ah takfir atau kelompok-kelompok yang se-aliran dengannya, serta vonis kafir dan murtad yang mereka jatuhkan atas para penguasa, maka semua itu mereka lakukan atas dasar pemikiran yang rusak. Yakni anggapan, bahwa para penguasa itu telah melakukan maksiat. Oleh karena itu mereka mengkafirkannya.

Ada baiknya disebutkan dan diceritakan di sini, bahwa aku pernah bertemu dengan sebagian dari anggota jama’ah takfir. Kemudian Allah menunjuki mereka kepada kebenaran. Lalu keluar dari jama’ah tersebut.

Aku berkata kepada mereka,’Kalian mengkafirkan sebagian penguasa. Lalu, mengapa kalian juga mengkafirkan para imam-imam masjid, khathib-khatib masjid, para muadzdzin dan pelayan masjid? Mengapa kalian juga mengkafirkan para guru agama di madrasah-madrasah?’

Mereka berkata,’Karena mereka ridha dengan para penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah!’

Aku katakan,’Jika mereka meridhainya dengan keyakinan hati kepada hukum selain hukum Allah, maka dalam kondisi seperti itu kufur amali berubah menjadi kufur i’tiqaadi. Setiap hakim yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan keyakinan, bahwa hukum tersebut lebih layak diterapkan pada masa sekarang ini, berkeyakinan bahwa hukum syar’i yang termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah tidak layak diterapkan sekarang, (maka) tidak diragukan lagi bahwa ia kafir; kufur i’tiqaadi, bukan kafir amali. Dan barangsiapa ridha dan meyakini apa yang diridhai dan diyakini oleh hakim tersebut, maka kedudukannya sama seperti hakim itu.’

Kemudian aku katakan kepada mereka,’Pertama, kalian tidak dapat menghukumi setiap hakim yang memakai undang-undang Barat yang kafir itu -atau memakai mayoritas undang-undang Barat- bahwa apabila ditanya tentang hukum selain hukum Allah ia akan menjawab: Memakai undang-undang Barat lebih layak dan lebih patut sekarang ini! Tidak boleh memakai hukum Islam! Kalian tidak dapat memastikan ia akan menjawab demikian. Sebab, bila mereka menjawab demikian tentu mereka (telah) kafir tanpa ragu lagi!
Lalu kalau kita lihat rakyat umum. Diantara mereka terdapat para ulama, orang-orang shalih dan lainnya. Alasan kalian menghukumi mereka kafir, apakah hanya lantaran mereka hidup di bawah naungan hukum penguasa tersebut, sama halnya seperti kalian?! Hanya saja kalian menyatakan mereka kafir murtad. Kalian katakan: Berhukum dengan apa yang diturunkan Allah hukumnya wajib! Kemudian kalian katakan: Menyelisihi hukum syari’i hanya dalam bentuk perbuatan tidak berarti orang yang melakukannya murtad dari agama! Padahal itulah perkataan yang diucapkan oleh orang-orang yang kalian vonis kafir. Hanya saja kalian menambahinya -tanpa haq- dengan vonis kafir dan murtad

Di antara perkara yang dapat menjelaskan kesalahan dan kesesatan mereka ialah sebagai berikut:

Dikatakan kepada mereka: Seorang muslim yang telah bersaksi laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah -bahkan ia mengerjakan shalat- kapankah dihukumi murtad dari agama? Apakah karena sekali saja berhukum dengan selain hukum Allah? Wajibkah diumumkan, bahwa ia telah murtad dari agama karena hal tersebut?

Mereka tidak dapat menjawabnya dan tidak dapat menemukan kebenaran dalam masalah ini. Maka, kami terpaksa membuat satu permisalan sebagai berikut:

Seorang qadhi memakai hukum syariat. Demikianlah adat kebiasaan serta peraturan yang berlaku. Akan tetapi, dalam satu kasus ia tergelincir dalam kesalahan, ia menjatuhkan hukum yang bertentangan dengan hukum syari’i. Yakni ia memberikan hak kepada orang dhalim dan menahannya dari orang yang didhalimi. Tentu saja itu merupakan hukum dengan selain hukum Allah. Apakah kalian dapat mengkafirkannya dan mengatakannya murtad dari agama?

Mereka pasti menjawab: Tidak. Karena ia melakukannya hanya sekali saja.
Kami katakan lagi: Jika ia mengulanginya untuk kedua kali, apakah ia kafir?
Lalu kami katakan: Bagaimana kalau tiga kali atau empat kali ia mengulangi hal serupa, kapankah kalian menghukumi kafir?
Mereka tidak akan dapat meletakkan batasannya dan tidak sanggup menjatuhkan vonis kafir atasnya.

Namun jika diketahui qadhi itu menganggap baik hukum selain hukum Allah -dengan keyakinan berhukum dengan selain hukum Allah itu dibolehkan, dan menganggap buruk hukum syar’i- meskipun baru pertama kali melakukannya, maka ia dapat dihukumi kafir murtad. Sebaliknya, jika qadhi tersebut menjatuhkan hukum selain hukum Allah dalam puluhan kasus, lalu kita tanyakan kepadanya, mengapa engkau menjatuhkan hukum dengan selain hukum Allah? Lalu ia menjawab, aku takut! Atau, aku mengkhawatirkan keselamatan diriku! Atau, aku disuap! Tentu ini lebih buruk dari alasan pertama!

Dalam kondisi seperti ini, kita tidak dapat menghukuminya kafir, sampai ia menyampaikan apa yang tersembunyi dalam hatinya, bahwa ia tidak rela berhukum dengan selain hukum Allah. Dalam kondisi seperti itu kita tidak dapat menghukuminya kafir murtad!

Kesimpulannya, kita harus mengetahui, bahwa kekufuran sama seperti perbuatan fasik dan dhalim. Terbagi menjadi dua:
Pertama. Kufur, fasiq dan dhalim yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Semua itu kembali kepada istihlal qalbi (penghalalan yang menjadi keyakinan hati pelakunya). Kedua. Kufur, fasik dan dhalim yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Semua itu kembali kepada istihlal amali (penghalalan yang masih dalam batas perbuatan pelakunya).

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam kitab Mausu’ah Manahi Syar’iyyah (I/halaman 124-125) juga menceritakan tentang dialog beliau dengan seorang pentolan jama’ah takfir seputar masalah ini, sebagai berikut:

Bilamana maksiat tidak melenyapkan keimanan dan tidak menyebabkan pelakunya kafir keluar dari agama, maka penafian iman yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah penafian kesempurnaan iman. Bukan penafian iman secara keseluruhan. Dalil-dalilnya ialah sebagai berikut:

– Sabda Nabi

Jika seorang hamba berzina, maka iman akan keluar darinya seperti naungan. Dan apabila ia meninggalkannya, maka iman akan kembali kepadanya. [Hadits shahih riwayat ABu Dawud (4690) dan lainnya dari hadits Abu Hurairah]

– Adapun buktinya, adalah dialog yang terjadi antara diriku dengan salah seorang tokoh jama’ah takfir seputar hadits-hadits tersebut. Dia berdalil dengan hadits tersebut atas kafirnya pelaku zina, peminum khamr dan pencuri …

Akupun membela madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah dari sisi bahasa. Aku katakan kepadanya: Hadits-hadits ini tidak menunjukkan kepada apa yang anda kehendaki dari sisi bahasa, ditambah lagi atsar-atsar Salafush Shalih dari kalangan sahabat dan tabi’in yang jelas bertentangan dengannya.
Bagaimana itu? tanyanya.

Aku katakan,Sebab kalimat-kalimat setelah kata nakirah merupakan sifat, dan setelah kata ma’rifah merupakan hal. Kalimat-kalimat ini menjelaskan tentang keadaan pezina, pencuri dan peminum khamr. Yaitu, mereka telah melakukan perbuatan dosa dan keji. Jika ia telah meninggalkannya, maka keimanannya akan kembali kepadanya.Iapun terdiam seribu bahasa dan tidak mampu memberi jawaban.

Kesimpulannya, tidak semua kata kufur, dhalim, fasik atau penafian iman dalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah berarti kufur, dhalim atau fasik yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Diantaranya ada yang merupakan kufur amali dan ada yang merupakan kufur i’tiqaadi.

Disinilah letak ketergelinciran kaum Khawarij. Mereka tidak membedakan kedua penggunaan istilah-istilah di atas. Mereka membawakan seluruh kata-kata kufur dalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah kepada (pemahaman) kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Meskipun konsekwensinya, mereka harus mengkafirkan para sahabat g , mengkafirkan penguasa, mengkafirkan masyarakat, mengkafirkan orangtua mereka, bahkan mengkafirkan diri sendiri.

Syaikh Al Albani melanjutkan ulasan beliau:
Ibnu Taimiyah dan murid beliau, Ibnu Qayyim Al Jauziyah selalu memperingatkan pentingnya membedakan antara kufur i’tiqaadi dengan kufur amali. Kalau tidak, akibatnya seorang muslim dapat terperosok ke dalam kesesatan, menyempal dari kaum muslimin -tanpa ia sadari- sebagaimana yang telah menimpa kaum Khawarij terdahulu dan cikal bakal mereka sekarang … …

Bersambung…….Insya Allah

(Sumber: Majalah As Sunnah Edisi 12/Tahun VI/1423H-2003M)

Tinggalkan komentar