Fitnah Takfir Neo Khawarij (bag 2)

Syubhat dan Bantahannya

Abdul Mun’im Mushtafa Halimah melontarkan sebuah syubhat Khawarij dalam bukunya berjudul Ath Thaghut, menjadi prolog menuju akar pemikiran Khawarij. Dengan royal mengkafirkan kaum muslimin. Yakni -dalam menetapkan- seseorang telah menghalalkan dosa yang dilakukannya cukup dengan qarinah (indikasi kuat), bahwa ia telah menghalalkannya. Menurutnya, sekarang ini tidak mungkin seseorang mengatakan terang-terangan bahwa ia telah menghalalkan dosa yang diperbuatnya. Jadi cukup dengan indikasi kuat tadi.

Berikut perkataannya:
“Persyaratan adanya pernyataan halal yang bersifat mutlak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama itu, kelihatannya sulit diterima oleh kalangan Murji’ah moderen. Karena, mereka hanya menerima istilah ‘menyatakan halal’ apabila diucapkan dengan lisan, bahwa ia (seseorang itu) menghalalkan hukum selain hukum Allah (benar-benar) dari lubuk hatinya. Pernyataan seperti itu tidak akan dilontarkan oleh thaghut dari segala thaghut, sekalipun di muka bumi ini. Adapun indikasi-indikasi yang terlihat dari amal perbuatan mereka, secara jelas menunjukkan, bahwa mereka menghalalkan hal itu. Bahkan menunjukkan kekufuran dan penghinaan terhadap hukum Allah tersebut. Bagi mereka (Murji’ah modern) tidak bisa dijadikan patokan.”

Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin Al Mubarak Ar Ramadani telah membongkar syubhat ini dalam kitabnya yang telah kami terjemahkan dengan judul Pandangan Tajam Terhadap Politik, sebagai berikut:
“Sejak dahulu, saya sudah mencium adanya ‘keseragaman’ antara pengikut mereka dalam masalah pengkafiran para pemakan riba. Syubhat mereka dalam masalah ini ialah klaim adanya indikasi kuat yang menunjukkan bahwa pelakunya menghalalkan perbuatannya itu. Barulah saya tahu, bahwa tidak ada asap jika tidak ada api! Kemudian saya lihat Nashir Al Umar mengisyaratkan hal tersebut dalam bukunya berjudul At Tauhid Awwalan (hal. 66-67), di bawah judul: Maksiat atau Kekufuran. Bahkan secara gamblang Safar Al Hawali menyatakannya dalam buku Wa’d Kisinnger, hal. 138, ia berkata,’ … … kitapun telah menganggap halal riba!’ Kemudian ia memegang erat pemikiran ini hingga terjadilah apa yang telah saya ungkap di atas tadi.

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Safar Al Hawali dalam kaset Durus Ath Thahawiyah (II/272), di akhir side A dan awal side B. Dia berkata,’ … … Metropolitan itu merupakan sebutan lain untuk hotel-hotel yang ada di negera-negara teluk, seperti Dubai … Disana terdapat hotel-hotel seperti itu. Secara terang-terangan mereka mengatakan, di dalamnya terdapat minuman keras, yang mereka sebut minuman rohani … Sebelum menghidangkan minuman keras, terlebih dahulu disajikan wanita penghibur juga film-film video dan lain-lain. … Ini jelas merupakan ajakan kepada minuman keras! Ajakan terang-terangan! Bahkan, ditambah lagi dengan pajangan yang menunjukkan -wal ‘iyadzu billah- bahwa mereka berdansa bercampur baur lelaki dan wanita dengan pakaian seronok dan meminum minuman keras! Kita berlindung kepada Allah dari kekufuran semacam itu. Bukankah menghalalkan apa yang diharamkan Allah merupakan kekufuran yang nyata, tanpa diragukan lagi?!’

Cobalah lihat, ia menggambarkan terlebih dahulu perbuatan maksiat yang dilakukan secara terang-terangan. Kemudian ia menganggap ajakan kepada perbuatan maksiat tersebut sebagai indiasi kuat adanya ‘penghalalan’. Kemudian menjatuhkan vonis kafir! Tanpa memberi peluang bagi kita untuk mengatakannya sebagai kufur duna kufur!

Dia berkata,’Kekufuran yang nyata!’ Inilah bentuk keserampangan mereka dalam masalah ‘penghalalan’ yang membawa mereka ke dalam bid’ah Khawarij. Lantas apa bedanya antara maksiat yang ia sebutkan tadi dengan maksiat-maksiat lainnya? Mustahilkah bila ada pelaku maksiat di dunia ini yang tidak mengajak temannya turut melakukan perbuatan maksiat tersebut?

Yang sangat kita sayangkan -hal (pernyataan) itu- bahwa ia menganggapnya sebagai syarah kitab Aqidah Ath Thahawiyah!
Syaikh Al Albani pernah ditanya tentang buku berjudul Zhahiratul Irja’ Fil Fikr Islami, karangan Safar Al Hawali. Di dalamnya disebutkan pengkafiran pelaku sebagian dosa besar.

Beliau (Syaikh Al Albani) menjawab,”Dahulu saya pernah melontarkan sebuah pendapat -kira-kira tiga puluh tahun yang lalu- ketika saya masih mengajar di Al Jami’ah (maksud beliau, Jami’ah Islamiyah Madinah An Nabawiyah). Dalam sebuah majelis yang besar, saya ditanya mengenai pandangan saya terhadap Jama’ah Tabligh. Ketika itu saya jawab,’Sufi gaya baru.’ Sekarang terbetik dalam hatiku untuk mengomentari jama’ah yang muncul sekarang ini dan menyelisihi manhaj Salaf, (maka) saya katakan sebagaimana dinyatakan oleh Al Hafidz Adz Dzahabi,’Mereka telah menyelisihi Salaf dalam sejumlah persoalan manhaj’. Saya menyebut mereka ini (sebagai) “Khawarij gaya baru”.

Karena pernyataan-pernyataan mereka mirip ucapan kaum Khawarij, sebagaimana yang dapat kita baca dari perkataan-perkataan mereka. Realita yang ada menunjukkan, bahwa perkataan mereka menjurus kepada manhaj Khawarij dalam masalah pengkafiran pelaku dosa besar. Akan tetapi -saya tidak dapat memastikan, barangkali dugaan saya ini benar- hal itu merupakan kekeliruan mereka atau makar mereka. Hal ini saya tegaskan bertolak dari firman Allah,

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS Al Maidah:8).

Saya belum tahu pasti, mengapa mereka tidak menyatakan terang-terangan bahwa setiap perbuatan dosa besar menyebabkan kafir pelakunya. Akan tetapi, mereka selalu menggembar-gemborkan beberapa perkara dosa besar dan tidak menyinggung atau membiarkan dosa besar lainnya. Oleh sebab itu, saya tidak menjatuhkan vonis secara mutlak terhadap mereka. Saya tidak mengatakan mereka itu Khawarij secara mutlak, kecuali dalam beberapa sisi. Ini merupakan perlakuan adil yang diperintahkan dalam ayat tersebut … … ”

Kemudian Syaikh Al Albani menunjukkan keterkejutannya melihat beberapa pernyataan di catatan kaki buku tersebut. Misalnya tuduhan irja’ (penganut paham murjiah) terhadap siapa saja yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Beliau sempat heran ketika mengetahui hal itu bersumber dari Safar Al Hawali. Beliau menyebutkan alasannya,”Pasalnya si Safar ini -paling tidak saya katakan- ia menampakkan penghormatannya kepada Syaikh Al Albani.” (Dinukil dari kaset bertajuk As Sururiyah! Khawarij Gaya Baru, di akhir side A. Produksi, tasjilat Al Quds Yordania).

Inilah Sururiyah!

Kemudian Syaikh Abdul Malik melanjutkan:
“Keempat orang yang lahir dan dibesarkan di negeri salafiyah (Arab Saudi) ini telah menjadi korban pemikiran Muhammad Quthb. Mereka telah menyimpang dalam beberapa persoalan aqidah. Bahkan, dalam masalah paling prinsipil dalam aqidah. Akibatnya dakwah mereka juga menyimpang. Sebagaimana yang dapat Anda baca dalam buku ini, Insya Allah. Kemudian bisa-bisanya mereka rela menjadi murid orang yang sampai sekarang keberatan melepas pakaian ala Perancisnya!? Lalu, bagaimana mungkin orang seperti itu mampu melepaskan diri dari undang-undang mereka?! Dan juga keempat orang itu tentu lebih alim daripadanya tentang syariat. Semua urusan terpulang kembali kepada Allah!
Kemudian saya menemukan perkataan salah seorang tokoh panutan para pemuda tersebut tentang pengkafiran pelaku liwath (homoseksual). Tokoh itu bernama Muhammad Surur Zainal Abidin. Dalam bukunya yang berjudul Manhajul Anbiyaa’ fid Dakwah Ilallahu, ia berkata (I/158),”Tidaklah heran bila masalah homoseksual merupakan masalah yang paling urgen dalam dakwah Nabi Luth q . Kalaupun kaumnya menyambut seruan beliau dan beriman kepada Allah serta tidak berbuat syirik, maka hal itu semua tidaklah berguna selama mereka masih melakukan kebiasaan keji yang mereka sepakati itu dan tidak sembunyi-sembunyi lagi melakukannya.”

Setelah penegasan tersebut, masihkah tersisa setitik keraguan bagi para pembaca sekalian, bahwa ia telah menganut paham Khawarij?! Kemudian perlu juga disorot maksud pengkhususan masalah ini dengan sembunyi-sembunyi atau tidaknya pelakunya dalam melakukan dosa besar itu dan kaitannya dengan vonis kafir. Serangkai dengan perkataan Salman Audah sebelumnya dalam masalah vonis kafir terhadap orang-orang yang berbuat kefasikan secara terang-terangan. Banyak sumber yang menyampaikan kepadaku, bahwa orang ini (Salman Audah) -ketika ia masih muda- sering mengunjungi Muhammad Surur.
Amru bin Qeis Al Mulaai berkata,”Apabila engkau lihat seorang pemuda tumbuh pertama kali di lingkungan ahlus sunnah wal jama’ah, maka berharap baiklah terhadapnya. Dan apabila engkau melihat seorang pemuda tumbuh di lingkungan ahli bid’ah, maka janganlah banyak berharap baik darinya. Karena seorang pemuda itu selalu terwarnai oleh lingkungan tempat pertama kali ia tumbuh.” Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah (44). Derajat riwayat ini shahih.

Ternyata tak hanya itu saja. Secara gamblang Muhammad Surur ini mengakui -tanpa malu- ia sengaja melakukan hal itu untuk membantah manhaj Salaf yang menyatakan, bahwa syirik merupakan maksiat terhadap Allah yang paling besar. Pada halaman 159 -masih bercerita tentang dosa liwath- ia berkata,”Ada satu hal lagi yang perlu disinggung di sini. Yaitu, setiap nabi diutus oleh Allah untuk membimbing mereka kepada hidayah, memperbaiki kerusakan akhlak dan ibadah mereka. Konsekwensinya, setiap nabi harus mengentaskan problematika yang paling berbahaya, meski ia harus menanggung beban pengorbanan yang berat. Ini bertentangan dengan tindakan sejumlah da’i sekarang ini yang sibuk mengurus persoalan yang sudah usang dimakan zaman….!!!”

Itu merupakan bukti, bahwa menurutnya dosa liwath itu lebih besar daripada dosa syirik. Apakah kaum Khawarij terdahulu maupun sekarang sampai pada taraf kesesatan seperti ini sebelumnya? Syaikh Shalih Al Fauzan telah memberi bantahan yang sangat baik terhadapnya dalam kaset yang bertajuk Urgensi Tauhid.

Kembali pada masalah ‘penghalalan’ di atas. Dalam kesempatan ini saya nukil penjelasan Syaikh Al Albani dalam kitabnya berjudul Al Aqidah Ath Thahawiyah: Syarh wa Ta’liq, halaman 40-41. Setelah membantah orang-orang yang serampangan dalam menjatuhkan vonis kafir pelaku dosa besar dengan tuduhan telah menghalalkannya, beliau berkata,”Muncul pula kelompok-kelompok baru yang mengikuti langkah mereka -Khawarij dan Mu’tazilah- dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap kaum muslimin, penguasa maupun rakyatnya. Saya sudah bertemu dengan salah satu kelompok tersebut … … Mereka memiliki dalih sebagaimana dalih kaum Khawarij, misalnya nash-nash yang berbunyi, ‘Barangsiapa melakukan ini maka ia kafir’.” Dalam kesempatan ini pen-syarah telah menyinggung salah satu dari kelompok tersebut. Beliau juga telah menukil ucapan Ahlus Sunnah dalam masalah iman. Bahwa iman itu ialah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Dosa apa saja termasuk kufur amali bukan kufur i’tiqadi. Bahwasanya kekufuran -menurut Ahlu Sunnah- ada beberapa tingkat. Salah satunya, ialah kufur duna kufur (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama). Masalah kufur ini sama dengan masalah iman. Kemudian beliau membawakan beberapa contoh nyata yang banyak diabaikan dan tidak dipahami oleh kelompok-kelompok yang kami isyaratkan tadi.
Pada halaman 363 Beliau rahimahullah berkata,”Ada perkara penting yang harus dicermati. Yaitu berhukum dengan selain hukum Allah kadangkala dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, dan kadangkala hanya terhitung sebuah maksiat dosa besar ataupun dosa kecil. Maka, (maksud) penggunaan kata kufur dalam hal itu -berdasarkan kedua pendapat di atas- ialah kufur dalam arti kiasan, atau kufur ashghar. Hal itu bergantung kepada keadaan si hakim (penguasa) itu … … ”

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh telah menguraikan masalah ‘penghalalan’ ini dalam dua kaset syarah Kitab Tauhid karangan Al Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bab Mentaati Ulama dan Umara’, produksi Tasjilat Thayyibah Madinah Ath Thayyibah, silakan mendengarnya.

Terakhir saya katakan:
“Sesungguhnya awal penyebab menyimpangnya para pemuda ini dengan pemikiran sesat tersebut adalah datangnya rombongan Ikhwanul Muslimin setelah mereka menimbulkan bencana mengenaskan di tanah air mereka. Baik rombongan itu berasal dari Ikhwanul Muslimin Quthbiyah Takfiriyah made in Mesir maupun Sururiyah Sufiyah produk Syria. Apa sebabnya hingga mereka diusir dan dihantam dengan tangan besi, semuanya lalu lari dan meminta perlindungan ke negeri yang mereka simpan permusuhan mendalam terhadapnya, yaitu negeri Wahabiyah, demikianlah mereka menyebutnya. Mereka memanfaatkannya, karena negeri inilah satu-satunya di dunia Islam yang menangani secara resmi persoalan kaum muslimin. Mereka lebih suka memanfaatkan prasangka baik dan kecintaan penduduknya terhadap mereka, daripada mempelajari tauhid dari orang-orang tua di Nejed. Apalagi dari para ulamanya. Mereka lebih suka memanfaatkan hal tersebut daripada bersyukur kepada Allah yang telah melindungi mereka, kemudian berterima kasih kepada penduduknya yang telah memuliakan mereka. Namun, mereka justru menyebarkan pemikiran-pemikiran sesat dengan bahasa yang menyihir. Mereka terus menyebarkan pengaruhnya, hingga dapat duduk di majelis-majelis dan memegang jabatan-jabatan di instansi-instansi dengan gelar-gelar akademis yang mentereng. Mereka terus merusak generasi muda negeri tauhid ini, dan mendidik mereka hingga menjelma menjadi generasi yang aneh. Diantaranya ialah beberapa orang yang telah saya jelaskan kekacauan mereka dalam masalah aqidah yang paling prinsipil, yaitu tauhid. Lalu adakah masalah yang lebih penting selain aqidah?”

Syubhat Lain dan Bantahannya

Sebagian orang men-takwil perkataan Abdullah bin Abbas tentang ayat 44 surat Al Maidah tersebut: kufur duna kufur, tertuju khusus kepada orang-orang Bani Umayyah. Syubhat ini dilontarkan oleh Muhammad Quthb, seorang pentolan Quthbiyah asal Mesir. Dalam bukunya Waaqi’una Al Mu’aashir, halaman 334, ia mengatakan,”Ibnu Abbas telah terdhalimi. Beliau ditanya tentang orang-orang Bani Umayyah yang memutuskan hukum tidak dengan wahyu yang diturunkan Allah, (bagaimana) tentang status mereka? Tidak ada seorangpun yang secara mutlak menyatakan, bahwa orang-orang Bani Umayyah kafir. Mereka biasa memutuskan hukum dengan hukum Allah dalam kehidupan masyarakat. Namun mereka menyimpang dari hukum Allah dalam beberapa urusan yang berkaitan dengan kekuasaan mereka, karena takwil dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dengan penyelisihan tersebut, mereka telah membuat tandingan bagi syariat Allah. Maka berkaitan dengan mereka, Ibnu Abbas berkata: “Kufur duna kufur”. Mungkinkah Ibnu Abbas menyatakan ungkapan tersebut kepada orang-orang yang menyingkirkan syariat Islam dari akar-akarnya dan menggantinya dengan undang-undang produk manusia?”

Jawabannya; Sebenarnya, siapakah yang mendhalimi Ibnu Abbas? Yang dimaksud oleh Ibnu Abbas ialah kaum Khawarij yang membangkang terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Syaikh Al Albani di atas.

Kelompok yang dikenal suka mengkafirkan kaum muslimin -kala itu- ialah kelompok Khawarij. Karena itu, perkataan Ibnu Abbas tadi tertuju kepada mereka. Merekalah yang memahami ayat di atas secara mutlak tanpa perincian seperti yang dipahami oleh Quth bersaudara (Sayyid dan Muhammad Quth). Lalu Ibnu Abbas -dengan kedalaman ilmunya dalam bidang tafsir- menjelaskan perinciannya sebagai bantahan terhadap pemahaman mereka tersebut. Tentu saja, kaum Khawarij saat itu tidak hanya mengkafirkan penguasa Bani Umayyah saja, tetapi juga seluruh pelaku dosa besar dan semua orang yang memakai selain hukum Allah secara mutlak, tanpa perincian.

Jadi, sungguh sangat menyesatkan bila mengkhususkan tafsir Ibnu Abbas tadi untuk khalifah Bani Umayyah saja. Sedangkan ayat 44 surat Al Maidah tersebut berlaku umum atas siapa saja yang berhukum dengan selain hukum Allah, baik itu khalifah-khalifah Bani Umayyah maupun yang lainnya. Terbuktilah, bahwa Muhammad Qutb-lah yang mendhalimi Abdullah bin Abbas dengan men-takwil perkataan beliau menurut hawa nafsunya dan tanpa argumentasi yang jelas.

(Sumber: Majalah As Sunnah Edisi 12/Tahun VI/1423H-2003M)

dicopas dari  Salafyoon.net

Tinggalkan komentar